TENTANG PAK DOSEN
“Jelas donk, tangan di atas tuh lebih baek daripada di bawah. Tapi liat2 dulu, di atas lagi ngapain? Kalo naruh yg baek2 ye jadi baek. Tapi kalo naruh yg jelek2 ke bawah ye jadi jelek. Iya toh, neng?” (Lela edit dikit biar agak rapi).
Sebuah komentar kritis dari dosen Lela pada “Tangan di atas lebih baik dari di bawah.” Sejumlah contoh seketika tergambar di benak Lela. Angpao para broker dan mafia peradilan, bagi-bagi rata hasil korpusi, money politik dan semacamnya adalah “kedermawanan” yang tak pada tempatnya. Orang pintar, jejaknya selalu menyisakan bahan pemikiran. Lela jadi makin nge-fans sama Pak Dosen.
Lela juga amat bersyukur punya dosen seperti Pak Ros. Hampir semua posting-artikelnya telah Lela baca, di WordPress (yang kini loadingnya makin berat) maupun yang di Blogger yang makin memanjakan penggunanya dengan banyak kemudahan dan keringanan loadingnya. Sebuah artikel malah sempat Lela posting ulang di blog Lela. Sekedar pengen nunjukin bahwa Lela bener-bener dah telaah dengan baik. Lela pilih artikel itu karena Pak Dosen nyebutin Lela di antara “figurannya”.
Jejak yang amat dalam juga ditinggalkannya di Background Textarea Onmouse. Pak Dosen mengusik benak Lela dengan tema yang berat. Membuat Lela teringat cerita guru spiritual Lela, bagaimana seseorang bisa diterima kesaksiannya bila tidak mengetahui “SiApa” yang disaksikannya? Pake jari telunjuk kenceng lagi ngadep ke depan seolah memastikan “SiApa” di hadapannya! Padahal.., hatinya lalai. Tuhan hanya dicarinya ketika susah seperti para politikus tiba-tiba akrab merakyat ketika menghadapi pemilu.
Inilah komentar yang – bagi Lela – terasa menukik tajam ke dasar samudera ketuhanan. Sebuah komentar yang mengingatkan Lela pada sebuah sya’ir:
نقل فؤادك حيث شئت من الهوى * ماالحب إلا للحبيب الأول
“Pindah-pindahlah rasa cinta sesuka hatimu, (toh pada kesudahannya) tiada cinta kecuali pada kekasih yang awal (pertama).”
Kata Pak Dosen:
“Boleh aje text area ‘n warna tulisanx berubah, tapi tak bikin hati Ning jadi berubah dari pengakuan or penyaksian awal.”
TENTANG TUHAN
Ketika diturunkan sebuah wahyu kepada Rasulullah di suatu malam, wahyu tentang penciptaan langit-bumi dan seisinya sebagai pertanda kebesaran Allah bagi “ulul albab”, Beliau menangis. “Sungguh celaka orang-orang yang enggan merenungkannya.” Gumamnya.
Pertanyaan adalah 'nutrisi' untuk meningkatkan kecerdasan. Kata orang bijak, “Tanyalah pada pakarnya jika engkau ingin tahu hakikat sesuatu.” Jika tidak ketemu, tanyalah pada diri sendiri. Ebit G Ade 'nyuruh bertanya – bahkan – pada rumput yang bergoyang.
Keniskalaan perintah untuk bertanya, tanpa menyebut objek (maf’ul bihi) atau tema, mengindikasikan kebebasan mempertanyakan apa saja untuk ditemukan jawaban sesuai kadar intelektualitas seseorang. Bahkan mempertanyakan keberadaan Tuhan sebagaimana didiskusikan teramat seru di media.
Di mana Tuhan? “Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini..” jawab lirik lagu Ebit. Sebagian menjawab seolah sebagai final answer, “Tuhan ada di mana-mana.” "Ketika Nabi Muhammad SAW membangun Ka`bah bukan berarti Tuhan itu ada di Ka`bah tapi di tengah-tengah Ka`bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," papar Agus Sunyoto penuh antusias sampai sudut bibirnya membusa.
Amat menarik, memang, diskusi yang menghadirkan narasumber novelis sufistik, Agus Sunyoto. Semua statement-nya diamini hadirin, bahkan di-taukid oleh KH Agus Ali Masyhuri. Banyak temuan dan pandangan segar diungkapkan. Namun demikian, saya – Lela yang baru melek – enggan mengamini keseluruhannya. Beberapa pandangan Lela cermati dan garisbawahi, al:
- Baik jawaban Ebit G Ade maupun “final answer” sebagai cerminan ketaksanggupan akal untuk memperoleh jawaban yang paling pas, itu semua menyatakan bahwa Tuhan “berlokasi” di sebuah area. Apalagi jawaban Agus Sunyoto yang menegaskan keberadaan Sang Hyang Widiwasa di setiap ruang kosong yang -berarti pula - menegasikan keberadaan tuhan di area “berisi” anasir tertentu. Asma Adh-Dhahir wa Al-Bathin memangkas pernyataan itu semua. Pada area yang terisi materi –yang terdeteksi indra – berarti tidak ada Tuhan di situ. Al-Bathin melingkupi segala yang dianggap “terisi”. Karena Tuhan bukan semacam gas maupun udara. Bukankah ada ruang hampa udara yang semestinya di situ – udara - justru lebih leluasa memenuhinya? Kenyataannya malah ditempati "zat asing" lainnya!
- Pernyataan “tuhan ada di mana-mana” tidak sama dengan “tuhan ada di manapun” sebagaimana ditegaskan dalam: “..faaiynama tuwallu fatsamma wajh Allah.” Tuhan ada di mana-mana secara eksplisit menyatakan bahwa tuhan “bertebaran” seolah terdiri dari “ajsam” (jasad renik, material). Sedang cahaya saja tak bisa ditentukan keberadaannya kecuali sumber cahaya dan objek yang tertimpa cahaya. Tuhan adalah cahaya di atas cahaya. Jadi, katakana saja keberadaan Dia seperti Dia ungkapkan keberadaannya dalam bahasa Qur’an, “Dia ada di manapun!” Dan beramallah, karena dengan amal saleh Tuhan menjadi nyata (Dhahir).
- Masih menanggapi pernyataan Agus Sunyoto tentang individu maupun sekelompok orang yang dianggap berlebihan dalam beribadah hingga nyaris keluar dari rambu-rabu syariat, bukankah Nabi juga mencontohkan sebuah ketekunan yang luar biasa dalam beribadah hingga kakinya membengkak? Sungguh tipu daya syetan teramat samar bukan main! Berleha-leha dengan amal-ibadah ‘medium’ itulah yang dianggap paling benar secara syar’i. Padahal, sebenarnya, itu selimut kemalasan yang dihamparkan syetan ke sekujur badan dan jiwanya! Lalu apa arti kata Nabi, “afala akuna ‘abdan syakuron”. Apa pula maksud “walladzina jahadu fina”? Santai dan leha-leha tidak dikatakan “jahadu” yang artinya bersedia banting tulang bahkan - kalau perlu - mengorbankan jiwa-raga.
- Walau di awal tulisan dikatakan bahwa memunculkan persoalan apapun adalah absah, Lela tetap “berpihak” pada kata ulama klasik yang memberikan batasan wilayah cakupan akal. “Seseorang (bisa) dibilang sempurna keimanannya bila telah tidak mempersoalkan: Apa, SiApa, bagaimana, di mana, kapan dan berapa tuhan itu.”
Kefasihan tata bahasa lisan maupun tulisan serta kekuatan argumentasi, jauh beda dari kebeningan hati oleh nur tajally. Jika Anda tempelkan muka pada sebuah dinding, pandangan justru tak bisa lagi mendefinisikan warna maupun teksturnya. Keterlalu-dekatan lah penyebabnya. Padahal, Tuhan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Matahari terlalu jauh hingga seolah muat dalam genggaman[?])
___________________
Bersambung ke:
APA ARTI SEBUAH NAMA
(Lela mau berkisah tentang Hamlet-Shakespeare. Tapi masih Lela angen-angen dulu, ntar kalo 'dah Lela posting, Lela kabari. Jadi.., balik lagi ya, makasih..)Padhang Bulan
0 komentar:
Posting Komentar
What Do You Think
Comment with English, Indonesian, Suroboyoan, Madurian, Arabian, and Melayuan.. :-)