728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 02 Juli 2009

Di Mana-mana vs Di Manapun


Rosichin M.


Tanda tanya ada di mana-mana, kadang tampak kadang sembunyi di balik sesuatu, kadang berhenti kadang berlari entah ke mana. Tanda tanya mengundang orang ingin mencari jawab, lantas berpikir. Siapa berpikir berarti dia ada; Kata Descartes, "Cogito ergo sum". Tiada sia-sia orang melihat tanda tanya, dan mau berpikir untuk mencari kebenaran.


"Tanda tanya, tanda tanya lagi, tanda tanya banyak sekali terpampang." Kata Dini lirih di sebuah changkruk'an.

"Tanda tanya memang ada banyak, mungkin yang Dini lihat masih bisa dihitung dengan jari, padahal banyak tanda tanya yang masih tersembunyi." Timpal Rosi.

Bunga pun ikut bertutur, "Yeah.., di tanah, air, api dan udara ada tanda tanya; di tubuh manusia, hewan dan pohon ada tanda tanya, pada gelap atau terang, pada sesuatu yang diam atau gerak, pada sesuatu yang materi atau non materi, yang tampak atau tidak tampak ada tanda tanya, singkatnya tanda tanya ada di mana-mana, ada pada sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu atau pun yang tidak. Tanda tanya sebuah tanda yang mengundang orang untuk berpikir, memahami, dan menjawab meski menjawabnya tidak harus dieksplisitkan, dan paling tidak mencari jawab tentang apa, bagaimana dan mengapanya; lebih dari itu untuk mencari jawab di balik "yang ada" sampai dapat menemukan esensi atau substansinya."


"Esensi atau substansi sesuatu memang sangat diperlukan diketahui dan dimengerti sehingga akan dapat menemukan kebenaran sesuatu, dan tidak ada lagi keraguan muncul dalam benak setiap insan pencari kebenaran. Tapi tidak mudah untuk menemukan substansi sesuatu, dan tanda tanya pun terus bermunculan sebelum mencapainya."

"Aristoteles, seorang filosof Yunani, memberikan jalan untuk mecapai substansi melalui abstraksi, membuang lebih dahulu aksidensia-aksidensia yang menempel pada sesuatu, baru akan mencapai substansinya. Sesuatu yang substantif atau esensial inilah yang selalu ingin diketahui sang pencari: MANUSIA." Bunga terus nyerocos bak juru dakwah vs audience awam.

"Manusia pada fitrahnya ingin tahu tentang sesuatu yang ada, sehingga wajarlah manakala manusia ingin mencari jawab sesuatu yang ada, baik dalam isi dan bentuknya yang bendawi atau non bendawi. Mencari jawab berarti berfikir, berfikir berarti ada. Misalnya mencari jawab tentang orang bercelana, orang bersarung, orang berdasi atau yang lain. Tak mudah mencari jawabnya karena tak setiap orang selalu sama dalam jawabannya. Perbedaan jawaban dapat terjadi karena dipengaruhi latar kehidupan, pengetahuan, pengalaman, wawasan, pola pikir yang dimiliki dan faktor lain seperti sudut pandang / kacamata yang dipakai."

"Perbedaan akan sesuatu harus diakui adanya dalam kehidupan tapi jangan menjadi embrio atau pun pemicu ketegangan / konflik, melainkan menjadi sebuah kekayaan dan hikmah serta menjadi indikasi ketidaksempurnaan manusia. Oleh karena itu tidak layak seorang manusia bersikap arogan atau egois. Sikap tersebut pun bertentangan dengan nurani manusia yang cenderung ingin selalu dalam kebaikan dan kebenaran.."

"Cukup, Bunga, tak perlu diperpanjang.." Sergah Anis.

"Aku tahu kau akan mengatakan bahwa perbedaan suatu kenyataan yang ada, kebaikan dan kebenaran perlu dicari, dan menjadi parameter manusia dalam hidup dan kehidupan. Tapi kebaikan dan kebenaran itu sesuatu yang relatif, berbicara masalah Tuhan saja sesuatu yang relatif sepanjang masih dalam bingkai hasil pemikiran atau tafsiran manusia, meskipun kitab suci yang ditafsiri!" Papar Rosi pada Bunga sambil melirik Anis seolah minta persetujuan.

"Well, I agree. Kerelativan dalam kehidupan terus mengalir," sambung Lela sekedar mengiyakan Rosi yang ga' respons Anis.

"Bahasan relativitas bukan barang baru. Abad 4 SM, Sofisme telah mengibarkan bendera kerelativan; manusia menjadi ukuran segala-galanya. Ruang dan waktu menjadi saksi bisu bahwa sesuatu kebaikan atau kebenaran hasil pikir manusia akan tumbang atau lestari, dan sejarah akan mencatatnya." Sambung Rosi.

"Teman-teman, sudahlah, kita bicara yang kesinian dan kekinian saja yang dekat dengan Tanda Tanya", sergah Dini; "misalnya tanda tanya tentang apa makna gelar-gelar yang menempel pada nama seorang dan dijejer atau dipamerkan, baik gelar akademik, gelar keturunan, atau gelar penghargaan serta sebutan gelar lain yang lama atau yang baru ada."

"Gelar-gelar yang dipamerkan seseorang baik yang ditaruh di depan atau di belakang namanya, mungkin agar orang lain tahu kalau ia memiliki gelar dan akan menghargainya.." Tutur Wulan.

"Gelar dipasang bisa jadi untuk gagah-gagahan, namun jika pola pikir dan prilakunya tak sepadan dengan gelar yang disandangnya, malah bisa timbul tanya atas kualitasnya." Tukas Bunga, ketus.

"Buat apa pasang gelar tapi jadi bahan tertawaan, lebih baik tak pakai gelar tapi punya pola pikir yang bagus dan karya yang berkualitas serta bermanfaat bagi banyak pihak. Yang penting kita buat sejarah hidup sendiri dengan isi warna-warni kualitas terbaik." Timpal Sari mengakhiri diskusi sore itu.

Print this post

Sincerely,
Padhang Bulan

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

What Do You Think
Comment with English, Indonesian, Suroboyoan, Madurian, Arabian, and Melayuan.. :-)

Item Reviewed: Di Mana-mana vs Di Manapun Rating: 5 Reviewed By: shodiqiel