728x90 AdSpace

Latest News
Selasa, 28 April 2009

Liberal, Why Not?

Gus Dur:



"Saya Simpati pada Liberalisme Ulil Bedah Buku Menjadi Muslim Liberal"
Oleh Umdah El-Baroroh

“Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.


Selasa (29/11/2005) lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Universitas Paramadina, dan Penerbit Nalar, bekerjasama menyelenggarakan bedah buku terbaru mantan koordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla, Menjadi Muslim Liberal. KH Abdurrahman Wahid, Dr. Jalaluddin Rakhmat, Dr. Yudi Latif, dan Maria Ulfah Anshor, dihadirkan untuk membedah gagasan-gagasan Ulil yang tertuang dalam buku itu. Bedah buku itu seakan-akan menjadi ”pengadilan” in absentia atas diri Ulil yang kini sedang melanjutkan studi di Universitas Boston, Amerika Serikat.

Diskusi di auditorium utama Universitas Paramadina itu dibuka setelah sambutan ala kadar dari Hamid Basyaib, Koordinatot JIL, menggantikan posisi Ulil. Sambil menunggu kedatangan Gus Dur alias KH Abdurrahman Wahid, pembicaraan dimulai oleh Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal. “Biasanya orang yang dibesarkan dalam pendidikan Barat justru tampil menjadi Islami. Sebaliknya, orang yang dibesarkan di jalur pendidikan Islam, justru tampil menjadi pemikir Islam yang moderat. Di sinilah saya ingin meletakkan Ulil Abshar-Abdalla,” ucap Kang Jalal membuka pembicaraan.

“Ulil, sebagaimana kita tahu, besar dari keluarga pesantren tradisional yang ketat dalam menerapkan agama. Tetapi di tengah kesibukannya mempelajari teks-teks klasik agama, secara diam-diam ia dikejutkan oleh pemikiran liberal keagamaan yang berkembang di Barat,” papar Kang Jalal. Menurutnya, gagasan inilah yang konon menjadi titik tolak munculnya gerakan pencerahan di Barat. Liberalisme keagamaan, lanjut Kang Jalal, diawali oleh liberalisme politik. Ide ini telah menginspirasi munculnya pemisahan wilayah privat dari kehidupan publik.

Kang Jalal menjelaskan, gagasan liberalisme yang memengaruhi paham keagamaan, sebetulnya telah memunculkan pemikiran-pemikiran agama yang tidak ortodoks. Inilah menurutnya kunci untuk memahami pemikiran Ulil. “Hanya dengan memahami akar-akar liberalisme yang sebenarnya, kita akan bisa memahami keseluruhan pemikiran Ulil,” papar Kang Jalal.

Menurutnya, Ulil telah mengusung pemikiran Islam dengan wajah baru. “Karena Ulil bukan saja menguasai perangkat-perangkat ilmu pengetahuan modern dari Barat, tapi juga menguasai literatur klasik Islam yang tidak dikuasai intelektual semacam Mas Yudi Latif,” seloroh Kang Jalal pada pembicara lain, Yudi Latif. Seloroh itu disambut tawa lepas peserta.

Mantan presiden RI dan tokoh NU yang menjadi keynote speaker saat itu, Gus Dur, tampil setelah Kang Jalal. Gus Dur yang telah banyak memberi inspirasi bagi pemikiran Ulil, menyampaikan wejangan khasnya, diselingi guyonan dan tutur cerita. Gus Dur juga menulis komentar yang cukup panjang tentang sepak terjang pemikiran Ulil dalam makalah berjudul “Ulil Dengan Liberalismenya”.

“Saya simpati pada liberalisme Ulil, tapi juga kritis,” papar Gus Dur. Gus Dur mengaku kalau dia sebenarnya juga sudah sejak lama berpandangan liberal. “Bedanya, saya tidak menyebut diri saya liberal, dan Ulil berani untuk menyebut seperti itu,” ucap mantan ketua PBNU itu. Sambil menganalisis, Gus Dur menjelaskan bahwa pemakaian label Islam liberal itulah yang membuat Ulil ditolak di mana-mana, terutama di kalangan NU sendiri.

Gus Dur menampik anggapan NU anti-perubahan. “Di NU, sebenarnya kita bisa melakukan perubahan apapun, asalkan jangan menggunakan nama,” jelas Gus Dur penuh siasat. Ia pun lalu bercerita ihwal beberapa kyai NU yang telah melakukan pembaruan pemikiran di lingkungan NU sendiri, seperti KH. Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), KH. Mahfudz Shidiq, dan ia sendiri. Gus Dur bercerita bahwa mereka-mereka itu memang tak serta-merta menyebut diri mereka sebagai pembaharu, apalagi liberal. Namun, dengan siasat itu, pembaruan tetap berlangsung di NU seraya mengurangi penolakan.

Selain mengeritik, Gus Dur juga mengapresiasi pemikiran-pemikiran Ulil. Menurutnya, pemikiran dan liberalisme Ulil, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gus Dur hanya melihat Ulil risau dengan hilangnya iklim kebebasan berpikir di dunia Islam, dan ia mengkiaskan pengalaman Ulil dengan apa yang dialami Ibnu Rusyd. “Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam,” tulis Gus Dur dalam makalahnya. Akibatnya pun dapat terduga; keduanya harus menanggung takfîr (dituduh kafir) oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan.

Kiai nyentrik yang kaya humor itu juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, jurang antara pengikut paham sumber-sumber tertulis keilmuan Islam seperti Alqur’an dan hadis, ahlun naql, dan penganut paham perlunya memberi porsi lebih besar pada potensi akal, ahlul `aql (kaum rasionalis), memang sangat lebar. Karena itu, perdebatan antara kedua kutub itu adalah hal yang biasa, selagi masih dibingkai dalam semangat ilmiah.

Hal senada juga diungkapkan Maria Ulfah Anshor dari Fatayat NU. Menurut pembela hak-hak perempuan ini, Ulil adalah sosok pemuda yang sangat progresif dalam berpikir. Selama ini, Ulil banyak dicerca dan dimaki, bahkan dituduh telah merusak akidah Islam. Padahal, Ulil sebenarnya hanya sedang melakukan pembacaan-ulang atas teks-teks klasik Islam sebagaimana para ulama lain.

“Bedanya, para ulama umumnya mengikuti apa adanya (teks) ketika membaca teks-teks klasik, sementara Mas Ulil berusaha mengkritisi dan memilah-milah,” jelasnya. Karena itu, Ulfah menilai bahwa gerakan Ulil masih positif, karena justru ingin menjembatani jarak antara teks yang statis dengan kenyataan hidup.

Sementara itu, Yudi Latif, sebagai pembicara terakhir, mencoba melakukan analisis sosiologis atas proses pembentukan pemikiran Ulil. Menurutnya, perkembangan pemikiran Ulil juga diwarnai oleh komunitas epistemik di mana dia bergaul. “Kalau Ulil tidak di Utan Kayu dan tidak sempat bergaul dengan orang-orang seperti Goenawan Mohamad, mungkin ia tidak akan seperti itu,” jelas Yudi. Bagi Yudi, corak komunitas epistemik yang digauli akan cukup menentukan corak pemikiran seseorang.

Yang cukup menarik dari pemandangan diskusi di atas adalah kegundahan Kang Jalal atas dampak-dampak lanjutan dari pemikiran Ulil. Bila Gus Dur dan Ulfah tampak tak terlalu risau dengan sepak terjang Ulil, Kang Jalal justru sebaliknya. Pakar komunikasi asal Bandung itu merasa khawatir kalau-kalau gagasan libealisme Ulil akan kebablasan. Namun sayangnya, ia tidak menjelaskan batasan yang jelas bilamana suatu pemikiran itu dapat dianggap kebablasan dan tidak kebablasan.

Namun demikian, Kang Jalal masih merasa perlu menempatkan diri sebagai mitra dialog yang kritis. Kalau pemikiran Ulil dan kawan-kawannya dia anggap kebablasan, “…saya akan membendungnya dengan kekuatan logika, bukan logika kekuatan,” tandas Kang Jalal retoris. Namun dalam paparannya, Kang Jalal juga menyingkap letak kerisauannya. Pemikiran Ulil dia rasa akan mengancam posisi agama dan terutama agamawan. “Karena, agama direduksi terus menerus dari perannya,” ungkapnya penuh khawatir. Sambil bercanda, ia juga mempertanyakan di mana letak dan peran agamawan seperti dirinya, kelak.

Namun kekhawatiran Kang Jalal dijawab enteng oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur, Kang Jalal terlalu berlebihan dalam menilai Ulil. Gus Dur mengingatkan letak persamaan umum antara dirinya, Ulil, dan juga Kang Jalal yang sering disebut sebagai intelektual muslim Indonesia. “Ulil sebenarnya hanya meperjuangkan kebebasan, sama dengan saya dan Kang Jalal,” kata Gus Dur mengingatkan. Gus Dur juga menyebut apa-apa yang dilakukan oleh Ulil belumlah selesai. “Ia kan masih muda. Jadi nggak usah terlalu diributkan. Pusing amat!” tandas Gus Dur pada Kang Jalal. []

Sincerely,
Padhang Bulan
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

What Do You Think
Comment with English, Indonesian, Suroboyoan, Madurian, Arabian, and Melayuan.. :-)

Item Reviewed: Liberal, Why Not? Rating: 5 Reviewed By: shodiqiel